Orang yang
melaksanakan ibadah puasa dengan benar maka dosanya akan dihapuskan. Dari Abi
Hurairah Ra, Rasulullah Saw. bersabda: “Siapa yang menegakkan Ramadhan
dengan iman dan ihtisab, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lalu“.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Saling memaafkan dan
menyambung tali silaturrahmi merupakan ajaran luhur dalam Islam. Setiap saat
kaum Muslim harus mengindahkan ajaran ini tanpa memandang hari dan momen
tertentu. Jadi tidak terbatas saat Idul Fitri saja. Bahkan secara tegas Allah
Swt. akan melaknat orang yang memutuskan tali persaudaraan (QS. Muhammad:
22-23). Rasulullah juga menyabdakan yang artinya, “Tidak ada dosa yang
pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat
daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan.” (HR. Ahmad dan
al-Tirmidzi).
Betapa pentingnya
memelihara hubungan persaudaraan agar tidak kusut, sampai-sampai Allah dan
Rasul-Nya menegaskan laknat besar sebagai ganjaran bagi pemutus tali
silaturrahmi. Bahkan urgensitasnya tampak begitu jelas manakala memelihara
silaturrahmi ini dikaitkan dengan keimanan seorang Muslim. Seperti dalam
hadits, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah
tali silaturrahmi.” (HR. Al-Bukhari). Kegiatan ini juga sangat banyak nilai
positifnya bagi kehidupan duniawi. Rasulullah menyabdakan, “Siapa saja yang
ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali
persaudaraan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu, dalam dunia karir
pun manusia tak bisa lepas dari ketergantungan relasi dan partner.
Halal bi Halal
menjadi momen yang sangat tepat untuk memperbaharui dan mempererat
persaudaraan. Aktivitas manusia yang begitu sibuk, bahkan sering
mengharuskannya jauh dari kerabat, sangatlah membutuhkan suasana Halal bi
Halal. Paling tidak agar acara tahunan itu benar-benar menjadi perhatian khusus
untuk ber-silaturrahmi dan saling memafkan bagi semua pihak. Ketimbang jikalau
tidak ada acara tahunan seperti itu, mungkin kesibukan akan meleburkan
perhatian mereka akan pentingnya ber-silaturrahmi.
Saling maaf-memaafkan
pada saat Idul Fitri dan Halal bi Halal bukan berarti mengkhususkan maaf hanya
pada momen itu saja. Terlebih dikatakan sebagai menambah-namabahi syariat
(bid’ah). Yang terpenting adalah Muslimin meyakini bahwa saling memaafkan tidak
memiliki batas waktu. Karena, jika sampai meyakini bahwa memaafkan dan
silaturrahmi hanya berlaku saat Idul Fitri atau Halal bi Halal saja, itulah
yang salah secara syariat.
Halal bi halal adalah
salah satu bukti keluwesan ajaran Islam dalam implementasi nilai-nilai
universalitasnya. Nilai universalitas silaturrahmi yang diajarkan bisa menjelma
menjadi beragam acara sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah, dengan
catatan tetap mengindahkan norma-norma Islam yang sudah ditentukan. Maka tidak
boleh tercampuri kemaksiatan apa pun dalam implementasinya. Setelah manusia
berbuat baik kepada Allah dengan berpuasa sebulan penuh; mengabdikan diri
kepada-Nya. Maka pada momen Idul Fitri dan Halal bi Halal, giliran mereka meneguhkan
kesadaran persaudaraan antar sesama dengan saling memafkan dan berbagi
keceriaan. Aktivitas ini sangat indah sebagaimana diisyaratkan QS. al-Hajj ayat
77,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah
kebaikan supaya kamu mendapat kemenangan.” Dan surat al-A’raf ayat 199,
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” Maka, Halal bi Halal meskipun asli
kelahiran Indonesia, namun esensinya tetap Islami.
Idul Fitri secara
etimologi atau bahasa berarti “kembali berbuka”. Ini sekaligus meluruskan
pemahaman kita selama ini yang mengartikan Idul Fitri dengan “kembali ke
fitrah”. ‘Id berasal dari kata ‘aada yang berarti “kembali”, sedangkan al-fitr
berasal dari akar kata fathara yang berarti “berbuka”. Selama ini al-fithr
sering disamakan dengan al-fithrah yang memakai ta marbuthah yang berarti suci.
Kedunya memang memiliki akar kata yang sama tetapi memiliki masdar yang berbeda
(Lisaan al-‘Arab 5/55-59). Dalam teks hadits Nabi Saw., penyebutan Idul Fitri
tidak menggunakan ta marbuthah. Jadi, secara bahasa Idul Fitri lebih tepat bila
diartikan dengan kembali berbuka.
Namun bagaimanapun
juga, dalam sejarahnya, Islam tidak terlahir dengan paradigma materialistik.
Ditetapkannya hari raya Idul Fitri tentunya bukan sekedar untuk memenuhi hajat
dan tuntutan perut. Jadi, terlalu sempit kalau mengartikan Idul Fitri
semata-mata sebagai momentum untuk diperbolehkannya kembali makan dan minum.
Tentunya ada makna yang lebih dalam dari Idul Fitri.
Mudah memaafkan,
penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang
merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam
Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari
orang-orang yang bodoh. [QS. al-A’raf/7:199)
Dalam ayat lain,
Allah Azza wa Jalla berfirman.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ
اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran/3:159)
Bahkan sifat ini
termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana
firman-Nya.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي
السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(Orang-orang yang
bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun
sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan
(kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS.
Ali-Imran/3:134)
Teramat banyak ayat
dan hadits yang memerintahkan kita untuk saling memaafkan. Saling memaafkan
inipun merupakan salah satu ciri orang-orang yang bertaqwa sebagaimana juga
yang dicitakan oleh puasa. Allah SWT berfirman: “Dan memberi maaf itu lebih
dekat kepada takwa.” (QS. Al-Baqarah: 237). Dalam ayat yang lain Allah SWT juga
berfirman: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan, baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan orang lain. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran: 132-133).
Hari Raya ‘Idul Fitri
menjadi momen yang tepat untuk saling memaafkan. Memang, Rasulullah Saw.
mengajarkan kita untuk saling memaafkan sesegera mungkin setelah kita berbuat
kesalahan. Tetapi terkadang hati dan mental kita belum siap untuk melakukannya.
Meminta maaf dan memaafkan bukanlah perkara mudah. Oleh sebab itu, setelah
menjalani pelatihan mengendalikan nafsu, umat Muslim diharapkan memiliki mental
yang cukup kuat untuk saling memaafkan di Hari Raya ‘Idul Fitri. Jadi, saling
memaafkan di hari ‘Idul Fitri seharusnya tidak sekedar menjadi ritual dan
formalitas tanpa makna. Budaya saling memaafkan di Hari Raya ‘Idul Fitri atau
biasa disebut halal bihalal kini menjadi tradisi positif di Indonesia.
Hal lain yang perlu
ditegaskan kaitannya dengan ‘Idul Fitri sebagai simbol kemenangan setelah
berpuasa adalah sejauh mana ibadah kita selama sebulan itu mampu meningkatkan
kepekaan sosial kita. Inilah sebenarnya yang menjadi cita-cita luhur dari
berpuasa. Disamping ibadah vertikal kepada Sang Khaliq, tidak kalah pentingnya
juga kita dituntut beribadah secara horizontal. Dalam Surat al-Ma’un Allah SWT
dengan gamblang menyebut mereka yang tidak memperdulikan anak yatim dan orang
miskin –yang menjadi simbol sosial masyarakat- sebagai pendusta agama. Yatim
dalam hal ini bukan saja anak yang ditinggal wafat bapaknya. Penafsiran seperti
ini lebih dipengaruhi kondisi Timur Tengah dimana bapak menjadi tumpuan hidup.
Yang lebih penting adalah adanya keterputusan antara seorang anak dengan
tumpuan hidupnya. Dalam hal ini di Indonesia bisa kepada kedua-duanya antara
bapak dan ibu.
Melalui momentum
‘Idul Fitri ini, sekali lagi marilah kita saling memaafkan dan membuka hati.
Kita tumbuhkan jiwa dan rasa kepekaan sosial kita. Selamat ‘Idul Fitri, semoga
Allah SWT. meridhai setiap detak dan gerak langkah kita, Amin Yra.(
0 komentar:
Posting Komentar